Ulah Hayang Mulya Nyarande
(Jangan Ingin Dimuliakan dengan Menumpang)
Dalam momen-momen khusus
seperti saat memberi amanat pada acara reuni, pertemuan alumni, atau haul di
pesantrennya, Teh Haji Iis Aisyah Jarnuziyyah pernah menyampaikan satu petuah
pendek tapi penuh makna:
“Ulah hayang mulya nyarande.”
Sebuah kalimat sederhana dalam Bahasa Sunda, namun mengandung pesan mendalam tentang harga diri dan kemuliaan sejati.
Makna di Balik Piwuruk
“Ulah hayang mulya nyarande”
berarti jangan berharap mendapatkan kehormatan hanya karena menumpang nama
orang lain—baik itu orang tua, keluarga, jabatan, ataupun kekayaan. Kita tidak
boleh merasa pantas dihormati hanya karena kita anak seorang ustadz, anak
tokoh, pejabat, atau berasal dari keluarga terpandang.
Kehormatan sejati tidak datang
dari silsilah. Walaupun orang tua kita orang besar, ulama, atau tokoh penting,
itu tidak otomatis menjadikan kita mulia di mata orang lain.
Kita harus mampu membangun
kemuliaan dengan usaha sendiri. Akhlak, tanggung jawab, dan dedikasi kitalah
yang akan menentukan seberapa besar kita dihargai oleh lingkungan.
“Mulya ku lampah, lain mulya ku turunan.”
Kemuliaan dalam Pandangan Islam
Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa.” (QS.
Al-Hujurat: 13)
Ayat ini menjadi bukti bahwa
kemuliaan tidak ditentukan oleh keturunan, harta, atau jabatan, tapi oleh
ketakwaan dan amal perbuatan.
Nabi Muhammad SAW juga
bersabda:
“Barang siapa yang lambat amalnya, maka nasabnya tidak akan mempercepat
derajatnya.” (HR. Muslim)
Kedua dalil ini mengajarkan bahwa untuk menjadi mulia, kita harus berusaha sendiri—bukan bergantung pada siapa orang tua kita atau dari mana asal kita.
Kemuliaan yang Kokoh Datangnya dari Diri Sendiri
Kemuliaan yang hanya bersandar
pada nama besar akan mudah runtuh. Sebaliknya, kemuliaan yang tumbuh dari
akhlak dan amal perbuatan akan kuat dan bertahan lama.
Sebagaimana pernah disampaikan
oleh Teh Haji Aisyah :
“Kamulyaan nu nyarande mah sok gampil ragrag. Tapi kamulyaan tina hasil usaha sorangan mah kuat, langgeng, jeung dipikahormat ku jalma sabudeureun.”
Penutup
Petuah ini mengajak kita untuk
hidup dengan prinsip, bukan gengsi. Menjadi pribadi yang rendah hati, berakhlak
baik, dan bertanggung jawab atas diri sendiri jauh lebih berharga daripada
sekadar menumpang nama keluarga.
Karena pada akhirnya, yang akan
kita bawa bukan nama orang lain, tapi amal dan perbuatan kita sendiri.
Mudah-mudahan kita semua bisa
menjadi pribadi yang tidak hanya mulia di mata manusia, tapi juga di hadapan
Alloh SWT. Aamiin.
---
Disusun oleh :
Admin °Rz°
Ikuti Media Sosial
PONDOK PESANTREN AL-MUNAWWAR JARNAUZIYYAH :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar